• Share this text:
Report Abuse
Amane Hikaru - posted by guest on 1st February 2020 08:22:27 AM

Musim semi selalu diibaratkan sebagai awal yang baru, terutama bagi para siswa. Kelas yang baru, buku baru, teman-teman kelas yang baru.

"Uwaah― Amane sekelas dengan kita?"

"Ah, maksudmu Amane yang itu?"

Aku pun bertemu dengannya di musim semi tahun keduaku di SMP.

Hampir semua anak menghindarinya. Keberadaannya pun dianggap sama sekali tidak penting. Di daftar absen, mungkin ia seperti bagian dari kelas. Tetapi sebenarnya, tidak ada yang menganggapnya demikian. Aku pun seperti itu. Walau aku tidak ikut merundungnya, aku diam. Diam bukan berarti emas. Peribahasa itu tidak berlaku untuk segala situasi. Aku tahu dan aku sadar bahwa tindakanku salah. Bahwa diam sama saja dengan memperbolehkan /bullying/ tersebut terjadi. Bahwa sebenarnya, aku juga ikut terlibat dalam perundungan akannya. Namun, aku yang pengecut dan penakut, si penjilat nomor satu yang berpikir bahwa berlaku dengan penuh kepura-puraan demi menyenangkan orang lain, tidak bisa melakukan apapun. Belajar dari pengalaman, kalau aku ikut berbicara, nanti justru aku yang akan terkena batunya. Maka dari itu, aku diam.

Aku diam, walau aku melihat mejanya dicoret-coret, dengan tulisan 'mati saja kau anak pembunuh!' dan kalimat jahat lainnya. Aku diam, walau aku melihat seragam sekolahnya disembunyikan ketika pelajaran olahraga, membuatnya harus memakai jersey olahraganya sampai hari itu berakhir. Aku diam, walau aku melihat ia sengaja diguyur dengan air pel bekas dari jendela ruang kelasku yang terletak di lantai dua. Aku diam, walau melihat sepatu /indoor/-nya dibuang, membuatnya harus bertelanjang kaki selama seharian. Aku diam, walau aku melihat anak-anak mengacaukan lokernya dan memenuhinya dengan lumpur. Aku diam, walau aku melihatnya dipukuli sampai babak belur.

Aku iba, tetapi aku tetap tidak ingin terlibat. Mungkin, rasa ibaku itu pun hanya semu, hanya sebuah kepura-puraan. Perasaan tidak nyata  yang kuciptakan, semata-mata untuk membuatku tidak merasa bersalah. Aku berusaha melarikan diri dari rasa bersalah tersebut.


"Ano―! Ini punyamu, bukan? Tadi terjatuh dari tasmu."

Percakapan pertama kami terjadi sekitar sebulan setelah semester pertama dimulai. Ia memanggilku dengan maksud ingin mengembalikan kartu transportasi yang selalu kugunakan saat menggunakan layanan transportasi umum. Karena aku tidak ingin orang lain salah paham dan menganggapku berteman dengannya, aku hanya mengambil kartu milikku dari tangannya dan lari tanpa mengucapkan terima kasih. Aku merasa bahwa aku sungguh tak mempunyai etika.  Tiap kali aku bertemu dengannya di kelas, hatiku langsung merasa tidak enak karena sudah memperlakukannya seperti itu, walau ia sudah menolongku.


Bodoh.

Bodoh. 

Bodoh!

Mengapa aku melakukan hal itu?! Apa susahnya mengucapkan kata terima kasih? Kalau seperti ini, aku pun tidak bisa menjalani hariku dengan tenang. Aku lagi-lagi hanya ingin bebas dari rasa bersalah yang kurasakan.


"A-Amane-san!"

Aku memberanikan diri untuk memanggilnya saat di sekolah sudah tidak banyak orang yang berlalu-lalang.

"Terima kasih! Dan juga aku minta maaf!" Ucapku sembari membungkukkan badan, membentuk sudut 90 derajat.

"Bukankah kau terlalu lama mengucapkannya? Waktu sudah berlalu hampir sebulan."

Sebuah balasan yang sama sekali tidak kuduga. Salah tingkah? Sudah pasti.

"E-etto... Aku sungguh minta maaf!"

Tidak ada kata lain selain permintaan maaf. Namun respon selanjutnya kembali mengejutkanku. Ia tertawa.

"Aku hanya bercanda, Sakayanagi-san."


Sejak saat itu, aku diam-diam makan siang bersamanya di atap sekolah. Perlahan, aku mulai mengetahui lebih banyak tentang dirinya. Dan tanpa sadar, aku menaruh hati padanya.

Perasaan tersebut tidak berbuah manis. Aku sudah menduga, anak-anak lain mencurigai lenyapnya aku dan Amane dari kelas tiap jam istirahat. Dan suatu ketika, benar dugaanku. Mereka ikut merundungku karena aku berteman dengan Amane.

Report Abuse

Login or Register to edit or copy and save this text. It's free.